Oleh: Ine Indrati Sigit
Dalam
dua dasawarsa terakhir, pemahaman mengenai mekanisme gangguan kesehatan
berkembang, terutama yang berhubungan dengan penyakit degeneratif.
Maka pemahaman seputar radikal bebas dan antioksidan pun berkembang
lebih luas.
Proses metabolisme tubuh selalu diiringi
pembentukan radikal bebas, yakni molekul-molekul yang sangat reaktif.
Molekul-molekul tersebut memasuki sel dan “meloncat-loncat” di
dalamnya. Mencari, lalu “mencuri” satu elektron dari molekul lain untuk
dijadikan pasangan. Pembentukan radikal bebas dalam tubuh pada
hakikatnya adalah suatu kejadian normal, bahkan terbentuk secara
kontinyu karena dibutuhkan untuk proses tertentu, di antaranya oksidasi
lipida.
Tanpa produksi radikal bebas, kehidupan
tidaklah mungkin terjadi. Radikal bebas berperan penting pada ketahanan
terhadap jasad renik. Dalam hati dibentuk radikal bebas secara
enzimatis dengan maksud memanfaatkan toksisitasnya untuk merombak
obat-obatan dan zat-zat asing yang beracun.
Namun pembentukan radikal bebas yang
berlebihan malah menjadi bumerang bagi sel tubuh, karena sifatnya yang
aktif mencari satu elektron untuk dijadikan pasangan. Dalam
pencariannya, membran sel dijebol dan inti sel dicederai. Aksi ini
dapat mempercepat proses penuaan jaringan, cacat DNA serta pembentukan
sel-sel tumor. Radikal bebas juga “dituding” dalam proses pengendapan
kolesterol LDL pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis).
Tubuh memerlukan bala bantuan untuk
mengendalikan jumlah radikal bebas yang melampaui kebutuhan itu, yaitu
antioksidan yang sebenarnya sudah terbentuk secara alamiah oleh tubuh.
Berdasarkan sifatnya, antioksidan mudah dioksidasi (menyerahkan
elektron), sehingga radikal bebas tak lagi aktif mencari pasangan
elektronnya.
Unsur antioksidan yang terpenting adalah
yang berasal dari vitamin C, E dan A serta enzim alamiah. Demi memenuhi
tuntunan itu, berbagai upaya dilakukan, misalnya dengan mengonsumsi
lebih banyak buah dan sayur yang kaya akan vitamin dan mineral
tertentu. Ada pula yang menempuh cara lebih praktis, yaitu mengonsumsi
suplemen, baik yang berbahan dasar alami maupun yang sintetis.
Belum banyak yang memahami benar
seberapa banyak kebutuhan tubuh kita akan vitamin A, C dan E yang
dikelompokkan sebagai antioksidan. Sebagai contoh masih terdapat
perbedaan pendapat tentang dosis Vitamin C yang perlu dikonsumsi setiap
hari. Sebagian pakar merekomendasikan cukup 60–70 mg, dengan alasan
cukup untuk kebutuhan setiap hari. Jika mengonsumsi berlebih akan
terbuang dalam urin. Sedangkan yang lain menganjurkannya 500–1.000 mg
agar Vitamin C bukan sekedar memenuhi kebutuhan tubuh untuk stimulasi
proses metabolisme, tetapi benar-benar dapat berfungsi sebagai
antioksidan.
Beberapa pakar nutrisi berpendapat,
bahwa kecukupan antioksidan dapat diperoleh dengan cara menjaga pola
makan bergizi seimbang. Namun, pada kenyatannya tidak banyak yang dapat
melakukannya setiap hari. Sebagai contoh, bagi kalangan berpendapatan
kelas menengah-bawah buah-buahan yang dijual pada umumnya relatif mahal,
sehingga kebutuhan akan vitamin yang tergolong anti oksidan menjadi
berkurang. Mereka berpendapat dapat digantikan dengan suplemen yang
lebih murah. Namun keunggulan suplemen ini tetap kalah jika dibandingkan
dengan makanan alami, karena pada yang alami terdapat vito chemicals, yaitu sekumpulan bahan-bahan kimia yang mempunyai fungsi belum diketahui secara rinci.
Ada pula yang berpendapat, dalam
mengonsumsi suplemen, mengambil dosis yang moderat, artinya tidak
menggunakan vitamin dengan dosis terlalu tinggi, contohnya 500 mg
Vitamin C setiap hari. Penggunaan dosis tinggi dianggap tidak baik bagi
kesehatan, apalagi digunakan dalam jangka panjang. “Beberapa studi
menunjukkan, dosis terlalu tinggi mengubah sifat antioksidan menjadi
prooksidan,” peringatan dr Benny Soegianto, MPH. (alm) dalam sebuah
wawancara dengan reporter majalah kesehatan tujuh tahun silam.
Kendatipun demikian sampai saat ini masih banyak konsumen yang tergoda
untuk rutin memakai dosis tinggi karena terbuai janji khasiatnya sebagai
penghambat proses penuaan.
Tubuh kita sendiri, lanjut dr Benny
seringkali mampu memberikan sinyal kekurangan vitamin tertentu. Sebagai
contoh, jika Vitamin B dan C dalam kurun waktu tertentu tidak cukup
dikonsumsi dan tubuh sedang bekerja keras, maka akan timbul sariawan dan
tubuh akan terasa pegal. Oleh karenanya kecukupan kedua macam vitamin
tersebut perlu dijaga dengan cara–suka tidak suka- mengonsumsi buah
segar setiap hari dalam porsi yang memadai.
Sumber: http://gizi.depkes.go.id/artikel/kiat-sederhana-tangkal-radikal-bebas/
0 comments: