Ilustrasi Sumber: Kompas.com
25 januari 1627, Empat abad yang silam lahirlah seorang bayi bernama Robert Boyle di Irlandia. Kelak kita kenal bayi tersebut tumbuh dewasa menjadi seorang besar karena kejeniusan otaknya. Sedikit mengutip dari situs ensiklopedia Wikipedia, dia adalah seorang filsuf, kimiawan, fisikawan, penemu, dan ilmuwan. Ia begitu tersohor karena karya-karyanya di bidang fisika dan kimia. Walaupun riset dan filsafat pribadinya jelas berakar dari tradisi alkimia, ia sering dianggap sebagai kimiawan modern pertama. Seorang ilmuwan besar yang mengharumkan bagi bangsa kelahirannya tentu.Bukan ingin membahas tentang hal ihwal tentang ilmu Kimia, saya hanya melihat persamaan tanggal yang tertera di kalender tersebut. Bersama dengan hari kelahiran seorang jenius tersebut, di Indonesia 25 Januari tertulis di kalender nasional sebagai Hari Gizi dan Makanan, serta Hari Kusta. Namun sepertinya tak begitu terdengar gaungnya. Mungkin kedua moment simbolik tersebut hanya diingat dan diperingati oleh bebrapa kalangan saja yang benar-benar kompeten. Hari gizi dan makanan yang diperingati 2 hari yang lalu, tak lebih banyak mewarnai headline media nasional yang masih saja menampilkan wajah-wajah koruptor. Hampir semua media lebih banyak menyedot perhatian publik dengan menampilkan fenomena Crop Circle, kasus perseteruan PSSI vs LPI, keluhan gaji presiden, dan bom yang mengguncang rusia. Sedikit memang yang membahas peringatan tersebut, kalaupun ada hanya diberikan pada porsi kecil.
Berbicara mengenai gizi dan makanan tak lepas akan selalu bertemu dengan topik masalah layanan kesehatan masyarakat yang berujung pada kesejahteraan di bidang kesehatan. Kesejahteraan rakyat yang masih saja menimbulkan polemic ditengah masyarakat. Munculnya beberapa kasus pelayanan kesehatan yang kurang layak, anak-anak yang mengalami defisiensi gizi, mahalnya biaya berobat dan harga obat dipasaran. Beberapa kasus yang muncul dimedia seringkali begitu memprihatinkan, jika kita sandingkan dengan kemewahan yang dinikmati oleh para penguasa negeri. Masalah ini begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, dan dekat dengan lingkungan kita berada. Sebagai bahasan tulisan ini saya sajikan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2010 ( seperti yang dirilis oleh situs resmi kementrian kesehatan nasional dan dipaparkan oleh menkes 25/1/2011 dilansir oleh berbagai media nasional) sebagai berikut:
1. Sejumlah 35,7% atau lebih dari sepertiga anak Indonesia tergolong pendek atau pertumbuhan tingginya tidak sesuai dengan umur.
2. Tingkat prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 17,9% atau diperkirakan sekitar 3,7 juta balita mengalami kekurangan gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini mengalami penurunan daripada tahun 1990 di mana 31% balita mengalami gizi buruk,
3. Sekitar 14% balita ditemukan mengalami gizi berlebih.. Hal inipun menimbulkan problem yang tak kalah besar. Kelebihan gizi dapat mengakibatkan kasus obesitas, gangguan fungsi jantung dan penyakit-penyakit degeneratif. Sebanyak 19,1% orang berusia diatas 15 tahun juga mengalami obesitas. “Gizi berlebih ini terdapat pada seluruh keluarga, baik miskin atau kaya. Sebanyak 13,7% keluarga miskin mengalami kelebihan gizi dan 14% pada keluarga kaya. Jenis kelamin dan pendidikan orang tua juga tidak berpengaruh terhadap kasus gizi berlebih ini.
Melihat angka-angka tersebut, hal paling menonjol adalah tingginya prosentase masalah gizi buruk. Sejumlah 35,7% atau lebih dari sepertiga anak Indonesia tergolong pendek atau pertumbuhan tingginya tidak sesuai dengan umur. Walau bagi saya mendengar atau membaca berita kasus gizi buruk yang melanda berbagai daerah di Indonesia tidaklah hal aneh. Selama kebijakan pembangunan negara ini masih timpang dengan terhadap investasi sosial dan permbangunan SDM. Maka kasus gizi buruk bukan tidak mungkin akan terus bermunculan. Yap… kasus gizi buruk begitu popular ditengah masyarakat kita. Kasus ini seringkali muncul dari kalangan keluarga miskin. Golongan masyarakat kelas dua yang selalu dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Mungkin karena dari golongan inilah negara terbebani untuk mengentaskannya tanpa bisa mendapat imbalan pajak yang besar dari mereka. Walaupun sebenarnya tugas mengentaskan kemiskinan hal tersebut telah diatur dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah dan menjadi amanat UUD 1945.
Maka sejenak tengoklah bagi mereka warga kelas dua. Ya mereka yang tidak hanya miskin harta, tetapi juga miskin ilmu dan akibatnya miskin akhlak. Di komunitas besar inilah berbagai macam akibat kekurangan gizi mewabah. Mulai dari penyakit ringan akibat konsumsi makanan tak sehat hingga ke penyakit degenerative yang sangat memprihatinkan. Merekalah saudara kita yang paling rentan dengan penyakit kurang gizi. Mereka yang tinggal di jalanan, kolong jembatan, pemukiman liar dekat pembuangan sampah, yang tinggal di pelosok desa pedalaman, dan di pemukinan liar di pinggir rel kereta api. Pada intinya adalah kemiskinan yang akut takkan mungkin mengenalkan mereka dengan makanan bergizi.
Perlu diketahui problema kesehatan gizi perorangan maupun kesehatan gizi masyarakat mempunyai sifat khusus yang bebeda . Faktor-faktor yang menyangkut dengan problema gizi perorangan pada umumnya terletak dalam jangkauan profesi kedokteran. Sehingga masalah ini dapat ditanggulangi lebih tuntas oleh profesi medik. Sedangkan pada problema kesehatan gizi masyarakat tidak semua terletak dalam jangkauan profesi kedokteran. Sehingga cara penanggulangannya harus dilakukan lintas sektoral dan multidisipliner yang melibatkan banyak pihak dari isntitusi lain. Diperlukan kerjasama dan koordinasi yang tepat dengan bidang-bidang profesi lain diluar profesi kedokteran.
Beberapa penyakit defisiensi gizi pada seserorang sudah dapat ditangai dengan tuntas, sehingga penderita penyakit tersebut dapat disembuhkan secara memuaskan. Pada penyakit yang sama yang terdapat pada suatu kelompok masyarakat akan sulit sekali untuk ditanggulangi secara tuntas dan memuaskan. Program penanggulangan tidak hanya cukup dengan upaya terapi dan pengobatan pasien, kerena setelah setelah disembuhkan dan kembali ke masyarakatnya, mereka akan datang lagi untuk berobat akibat penyakitnya kambuh. Hal ini akan terus berulang selama kondisi masyarakat yang menjadi dasar timbulnya defisiensi tersebut diperbaiki. Perbaikan ini merupakan perbaikan kondisi masyarakat yang menyeluruh. Tidak hanya faktor kesehatan tetapi juga meliputi faktor-faktor diluar sisi medik. Hal tersebut antara lain problema ekonomi, kesejahteraan, pendidikan, kebudayaan, dan kepercayaan.
Jika hanya menyandarkan pada upaya yang dilakukan kementrian kesehatan sebagai poros dalam upaya penanggulangan berbagai penyakit gizi masyarakat tentu sangat naïf. Tanpa kita sendiri sebagai masyarakat yang melek pengetahuan mau berpartisipasi. Berawal dari diri kita sendiri sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan bagian elemen-elemen bangsa ini harus ikut andil dalam upaya ini. Kita semestinya memperhatikan setiap nilai gizi dari makanan yang kita konsumsi setiap hari, dan sepatutnya memberikan informasi yang tepat tentang pentingnya gizi kepada keluarga, dan masyarakat terdekat kita. Mengubah paradigma dan kepercayaan - kepercayaan seputar gaya hidup yang menyesatkan terkait masalah kesehatan dan gizi makanan. Sehingga tercipta sebuah masyarakat besar yang paham akan pentingnya pemenuhan gizi untuk memperbaiki tingkat kehidupan.
Upaya tersebut akan menjadi sarana andilnya kita dalam pembangunan masyarakat dan bangsa. Karena suatu pembangunan seharusnya memberi kesempatan yang luas pada masyarakat untuk memenuhi hak-hak dasarnya. Salah satu hak dasar tersebut adalah hak atas pangan. Saat ini pendapat yang mengangap bahwa ” perbaikan ekonomi harus menjadi fokus bagi penuntasan masalah gizi ” harus diubah. Namun sebaliknya ” gizi harus ditempatkan sebagai fondasi bagi pembangunan” sehingga pada gilirannya akan terjadi perbaikan ekonomi dan kesejahteraan. Sesuai dengan konsep yang sosialisasi oleh Bank Dunia. Bahwa gizi harus ditempatkan sebagai pusat dari pembangunan.
Konsep gizi sebagai pusat pembangunan memiliki 3 alasan besar seperti yang dipaparkan oleh Albiner Siagian, Guru Besar Ilmu Gizi FKM USU dalam sebuah artikelnya. Ketiga alasan tersebut adalah sebagai berikut.
a. kekurangan gizi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan karenanya akan melanggengkan kemiskinan.
b. dampak tidak langsung yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia. disebabkan oleh tingkat kecerdasan dan capaian tingkat pendidikan yang rendah.
c. beban biaya kesehatan yang meningkat akibat kekurangan gizi.
Alasan-alasan tersebut seharusnya ditangkap dengan baik oleh pemerintah. Kalau perlu dijadikan patokan yang jelas dalam pijakan membuat kebijakan yang adil terhadap investasi sosial dan permbangunan SDM. Sehingga ada harapan besar menuju kemakmuran rakyat. Kecukupan gizi, akan menghasilkan masyarakat yang cerdas, sehingga dapat meningkatkan pencapaian pendidikan. Setelah itu diharapkan dengan pembangunan SDM yang baik mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terkikislah kemiskinan.
Simpulannya, apakah bangsa ini akan membesarkan generasi penerusnya hanya untuk menjadi kuli bagi bangsa lain. Saya harap tidak. Sudah saatnya generasi penerus bangsa ini akan menggantikan para ilmuwan yang banyak terlahir di negeri eropa sana. Bangsa yang dahulu menjajah nenek moyang kita. Tanah para penjajah yang sempat mengeruk kekayaan alam kita yang berlimpah, sehingga kita tak lagi terhormat di bumi sendiri. Haruskah kebodohan akan terus membelenggu bangsa kita, karena salah kita tidak menempatkan aspek gizi dan makanan sebagai fondasi pembangunan. Tak mungkinkah seorang filsuf, kimiawan, fisikawan, penemu, danilmuwan besar seperti Robert Boyle akan lahir di negeri ini.
Semoga 25 Januari tak hanya sebuah hari yang hanya akan diperingati setahun sekali, dengan upacara-upacara dan ritual normatif saja oleh kementrian kesehatan. Namun benar-benar membuka cakrawala kita semua akan pentingnya perbaikan gizi perorangan maupun gizi masyarakat menjadi lebih baik. Acara Hari Gizi Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 Januari sudah seharusnya menjadi momentum untuk memikirkan persoalan gizi yang masih menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Sehingga dampak nya terasa oleh semua lapisan masyarakat kita, dan lebih khusus mengena pada target yaitu masyarakat miskin, dan mereka yang berada di pelosok pedalaman negeri. Semoga tak lagi kita temui ironi munculnya kasus gizi buruk pada masyarakat miskin di negeri yang berlimpah sumber daya alamnya ini.. Tak jadi soal sepinya reportase dan pemberitaan Hari Gizi Nasional , jika tujuan dan program mulia dapat di realisasikan dengan cepat dan tepat. Kita tunggu kiprah nyata dari Menkes dan jajarannya mengawal Hari Gizi Nasional menjadi tonggak perbaikan layanan kesehatan dan perbaikan gizi nasional.
Salam
Sumber: kompas.com
0 comments: